Beranda | Artikel
Aku Takut Pada-Mu Ya Allah
Jumat, 19 Juli 2019

Rasa takut adalah amalan hati dan sifat orang yang bertaqwa..
– “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh baik. Jika ia rusak, seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah (segumpal daging) itu ialah hati.” (H.R. Muslim).
– ”…amalan-amalan zhahir (lahiriah) menjadi besar atau kecil nilainya tergantung apa yang ada di dalam hati …[1]
“…Allah Ta’ala mengkhususkan dan menyifati para ulama dengan rasa takut kepada-Nya, karena mereka adalah orang yang paling mengenal Allah. Semakin besar pengenalan seorang hamba kepada Rabbnya, semakin besar rasa harap dan rasa takutnya kepada Allah.” [2]

Di antara cara menumbuhkan rasa takut kepada Allah:
1. Menuntut ilmu syar’i yang bersumber dari al-Quran dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sahih.
2. Mengingat bahwa azab Allah sangatlah pedih.

“…Sesungguhnya rasa takut yang sejati itu adalah kamu takut kepada Allah sehingga menghalangi dirimu dari berbuat maksiat…” [3]

[1] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Minhaajus Sunnah, 6/137
[2] Syaikh Dr. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad As-Sadhan, dalam Ma’alim fi Thariq Thalabi al-‘ilmi, hal. 13
[3] Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 31

Saudaraku yang semoga dirahmati Allah, pernahkah kita merasa begitu mudahnya kita melanggar aturan Rabb kita? Begitu mudahnya hati ini menyepelekan maksiat yang kita lakukan, “Toh, Allah Maha Pengampun”. Begitu pikir kita untuk terus merasa aman dalam kedurhakaan. Berpikir kesempatan bertobat masih lama, sedang pintu neraka semakin terbuka. Hati tetap merasa tentram, padahal kain kafan kita sedang dianyam. Saudaraku, semua itu karena sedikitnya rasa takut kita kepada Allah Ta’ala…

Rasa takut adalah amalan hati

Rasa takut kepada Allah merupakan salah satu bentuk amalan hati seorang hamba kepada Rabbnya. Adalah satu hal yang menyedihkan dan pantas menjadi renungan bagi kita, bahwa masih begitu banyak dari kita yang memberi perhatian besar terhadap amalan-amalan zhahir (amalan lahiriah), tetapi ternyata lalai dari amalan hati. Padahal, amalan hati adalah penentu bagi amalan zhahir. Diterima atau tidaknya suatu amalan serta besar kecilnya pahala yang kita peroleh dari amalan zhahir sangat ditentukan oleh amalan hati.

Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh baik. Jika ia rusak, seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah (segumpal daging) itu ialah hati.” (H.R. Muslim).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, ”Sesungguhnya amalan-amalan zhahir (lahiriah) menjadi besar atau kecil nilainya tergantung apa yang ada di dalam hati, dan apa yang ada di hati bertingkat-tingkat. Tidak ada yang mengetahui tingkatan – tingkatan keimanan dalam hati manusia kecuali Allah Ta’ala.”(Minhaajus Sunnah, 6/137).

Allah Ta’ala pun mengangkat derajat para sahabat radhiyallahu anhum dengan sebab amalan-amalan hati mereka. Amalan zhahir mereka yang luar biasa memang bisa ditiru oleh generasi setelahnya. Akan tetapi, Allah tetap jadikan mereka istimewa karena orang-orang yang datang setelah para sahabat tidak akan mampu menyamai amalan hati dan keimanan mereka.

Imam Abu Bakar bin ‘Ayyaasy (seorang ulama generasi tabi’in) rahimahullah mengatakan, ”Tidaklah Abu Bakar mengungguli para sahabat yang lain dengan banyaknya shalat dan puasa, tetapi karena sesuatu yang terpatri kokoh di dalam hatinya.”(Miftah Daris Saadah, 1/82).

Sifat seorang yang bertakwa: takut kepada Allah

Rasa takut kepada Allah adalah sifat seorang yang bertakwa. Bahkan, hal tersebut merupakan bukti keimanan mereka kepada Allah Ta’ala. Allah telah sifati hamba-hamba-Nya yang mulia, yaitu para Nabi ‘alaihimush shalatu was salam, sebagai orang-orang yang senantiasa berdoa dengan rasa harap dan takut.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (Q.S. Al Anbiya: 90).

Semakin berilmu, semakin takut kepada-Nya

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama.” (Q.S. Fathir: 28).

Syaikh Dr. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad As-Sadhan hafizhahullah mengatakan, ”(Di dalam ayat ini) Allah Ta’ala mengkhususkan dan menyifati para ulama dengan rasa takut kepada-Nya, karena mereka adalah orang yang paling mengenal Allah. Semakin besar pengenalan seorang hamba kepada Rabbnya, semakin besar raja` (rasa harap) dan khauf (rasa takut) dia kepada Allah.” (Maalim fi Thariq Thalabi al-ilmi, hal. 13).

Rasa takut kepada Allah muncul dari sikap marifatullah (mengenal Allah) yang mendalam. Seseorang yang berani bermaksiat kepada Allah, tidak lain disebabkan oleh minimnya rasa takut kepada Allah, dan hal tersebut tidak lain disebabkan kurangnya ilmu agama dan ma’rifatullah.

Menumbuhkan rasa takut kepada Allah

Selanjutnya, bagaimanakah cara menumbuhkan rasa takut kepada Allah? Di antara caranya adalah:

1. Menempuh jalan menuntut ilmu syar’i yang bersumber dari al-Quran al-Karim dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sahih.

Inilah jalan yang paling tepat agar kita bisa menjadi hamba Allah yang hanya takut kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama” (Q.S. Fathir: 28).

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, ”Semakin seseorang berilmu tentang Allah Ta’ala, semakin besar juga rasa takutnya kepada Allah. Rasa takutnya kepada Allah tersebut membuatnya meninggalkan perbuatan maksiat dan mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Dzat yang dia takuti. Ayat ini sebagai dalil tentang keutamaan ilmu, karena ilmu akan menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Orang-orang yang takut kepada Allah adalah orang-orang yang mendapat kemuliaan-Nya, seperti firman Allah Ta’ala (yang artinya),

‘Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Hal itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya. (Q.S. al-Bayyinah: 8)” (Taisir al-Karimir ar-Rahman, hal 656).

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya orang yang takut kepada Allah dengan sebenar-benar rasa takut hanyalah para ulama yang memiliki pengetahuan tentang Allah (ma’rifatullah). Hal ini disebabkan semakin bertambah pengenalan seseorang terhadap Dzat Yang Maha Agung, Maha Kuasa, dan Maha Berilmu, Yang memiliki sifat yang Maha Sempurna disertai Asma’ul Husna, maka akan semakin bertambah dan sempurna pengetahuan seseorang kepada Rabbnya. Dengan demikian, ketakutannya kepada Allah akan semakin bertambah dan menguat.” (Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 3/697).

2. Mengingat bahwa azab Allah sangatlah pedih.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (Q.S. An Nuur: 63).

Ingat juga bahwa seringan-ringan siksaan di neraka kelak adalah sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya, “Sesungguhnya penduduk neraka yang paling ringan siksanya ialah orang yang mengenakan dua sandal dari neraka lalu mendidih otaknya karena sangat mencekam panas dua sandalnya.” (H.R. Muslim).

Pedihnya azab Allah, sampai-sampai disebutkan dalam Al-Quran bahwa setan berkata, “Sesungguhnya aku takut kepada Allah. Dan Allah sangat keras siksa-Nya.” (Q.S. Al Anfal: 48).

Mereka yang takut kepada Allah

Dari Al-Qaasim bin Muhammad rahimahullah, ia menceritakan, ”Suatu ketika kami pernah melakukan suatu perjalanan bersama Ibnul Mubarak. Seringkali terlintas dalam benakku (tentang kemasyhuran Ibnul Mubarak) hingga aku berkata pada diriku sendiri, ‘Apakah gerangan yang membuat laki-laki ini lebih utama dibandingkan kami sehingga dia begitu terkenal di khalayak ramai? Jika dia shalat, kami pun melakukan shalat. Jika dia berpuasa, kami pun berpuasa. Jika ia berjihad, kami pun berjihad’.

Al-Qaasim rahimahullah pun melanjutkan, “Dalam suatu perjalanan kami kemudian, ketika kami sampai di negeri Syam pada suatu malam, kami sedang makan malam di sebuah rumah. Tiba-tiba lampu padam. Maka seorang di antara kami pun bangkit untuk mengambil lampu. (keluar untuk beberapa saat untuk menyalakan lampu, kemudian datang membawa lampu yang telah menyala). (Setelah terang) aku melihat wajah dan jenggot Ibnul Mubarak telah basah karena air mata. Maka aku berujar pada diriku sendiri, ‘Dengan rasa takut inilah laki-laki ini lebih utama dibandingkan kami. Mungkin tadi ketika lampu padam, dan keadaan menjadi gelap, beliau teringat akan hari kiamat’.” (Ayna Nahnu min Akhlaq as-Salaf, hal. 18-19).

Pembaca yang dirahmati oleh Allah, demikian uraian singkat yang semoga membuat kita tersadar untuk menumbuhkan rasa takut kepada Allah di dalam hati kita, sehingga menjaga kita dari perbuatan maksiat.

Sebagaimana yang dikatakan Sa’id bin Jubair rahimahullah, “Sesungguhnya rasa takut yang sejati itu adalah kamu takut kepada Allah sehingga menghalangi dirimu dari berbuat maksiat.” (Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 31).

Penulis : Bagas Prasetya Fazri, S.Farm., Apt. (Alumnus Ma’had al-‘Ilmi Yogyakarta)
Muroja’ah        : Ustaz Afifi Abdul Wadud, B.A.


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/bt1527/